Kamis, 15 April 2010

Tanggung Jawab Moral Penegak Hukum


Hari-hari ini perhatian kita barangkali cukup tersedot oleh pemberitaan mengenai percakapan telepon antara sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung dan Artalyta Suryani, terdakwa kasus penyuapan terhadap oknum jaksa UTG. Seperti diketahui, rekaman percakapan itu diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Korupsi. Rencana penangkapan itu diduga menjadi bagian dari skenario menyelamatkan penyuap. Para pejabat tinggi kejaksaan yang terlibat membantah dugaan tersebut. Mereka beralibi percakapan itu justru menjadi skenario mereka menjerat dan menangkap Artalyta. Tujuannya, menjaga keseimbangan antara penerima dan pemberi suap. Tapi dalih ini akhirnya termentahkan oleh hasil pemeriksaan tim internal kejaksaan yang menilai pejabat yang terlibat percakapan telah melanggar disiplin pegawai negeri sipil.


Kasus terungkapnya percakapan tidak etis itu semakin mengukuhkan tindakan korupsi yang terjadi secara sistemik, meluas, dan lepas kendali di republik ini. Praktek kriminal itu telah menjadi endemik, berurat berakar, dan sulit dihilangkan. Benar kata Susan Rose-Ackerman, mahaguru bidang hukum dan ilmu politik dari Universitas Yale, bahwa, "di Jakarta (baca: Indonesia), korupsi sudah menjadi hal yang biasa." Ini terjadi karena ketidakberesan dan praktek jual-beli perkara oleh sejumlah oknum aparat penegak hukum.

Penilaian ini bukan isapan jempol. Ukurannya jelas, tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi sangat rendah sehingga kita masih berkutat dan betah nongkrong di posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia. Sebenarnya pembentukan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi secara tak langsung juga membahasakan kondisi ketidakberesan aparat penegak hukum kita. Logikanya, kalau aparat penegak hukum yang ada memiliki kinerja yang bermutu dan bertanggung jawab, tentu saja KPK tidak dibutuhkan.

Pertanyaannya, mengapa tingkat ketidakberesan itu begitu mengental? Mengapa mafia peradilan begitu kuat? Persoalan utamanya terletak pada sisi mutu personalitas aparat penegak hukum. Artinya, praktek korupsi itu merupakan representasi dari integritas, reputasi, dan kualitas pribadi mereka. Praktek korupsi memang memiliki relevansi etis. Tindakan tersebut tidak etis (immoral) atau buruk dari sudut pandang moral, karena pelaku menyalahgunakan posisi dan pengaruhnya membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Sementara pada pihak lain mengakibatkan bencana dan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan logika seperti ini kita bisa mengatakan bahwa integritas, reputasi, dan mutu moral koruptor sangat rendah. Padahal sisi moralitas merupakan ciri khas manusiawi yang membuat manusia merasa berhak mengklaim memiliki harkat dan martabat luhur.

Lalu, apakah aparat penegak hukum begitu bodoh memahami prinsip moral seperti itu? Jawabannya sederhana: mereka tahu korupsi itu tidak benar secara moral, tapi mereka tidak peduli. Ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan dan kemauan untuk memberikan refleksi terhadap setiap tindakan mereka. Orientasi materialistis, hedonistis, dan budaya instan barangkali telah mencengkeram sumsum tulang-belulang gaya hidup penegak hukum kita. Ini mengarahkan mereka mengikuti dan mencoba mengambil apa saja yang diinginkannya apabila kesempatan untuk melakukannya ada. Bahkan kesempatan tersebut justru mereka ciptakan dengan memanipulasi aturan hukum. Tindakan diambil semata-mata berdasar kepuasan, kesenangan, dan keterpenuhan hasrat individual yang egoistis.

Dalam alur analisis tersebut, usaha pemberantasan korupsi harus dimulai dari pembenahan mentalitas aparat penegak hukum, karena mereka merupakan ujung tombak dan tulang punggung upaya menciptakan negara yang bebas korupsi. Pertama, selama ini praktek yang barangkali jamak dilakukan adalah memindahtugaskan atau menurunkan pangkat oknum aparat yang terbukti melanggar kode etik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Perlu ada terobosan khusus yang baru untuk aparat penegak hukum. Oknum yang terbukti melanggar kode etik, baik yang ringan maupun yang berat, jangan diberi tugas dan jabatan struktural apa pun. Kalau perlu, dipensiun-dinikan. Terobosan ini diharapkan bisa menciptakan aparat yang berintegritas dan bertanggung jawab. Mata rantai mafia peradilan pun bisa dipotong karena oknum bersangkutan tidak lagi memiliki otoritas, wewenang, kesempatan, dan pengaruh tertentu, terutama untuk melakukan jual-beli perkara.

Kedua, perlu ada pemberdayaan kesadaran yang bersifat sugestif dan berorientasi pada orang lain. Artinya, setiap aparat penegak hukum perlu melakukan proyeksi terhadap akibat dari setiap tindakan dan keputusan mereka bagi masyarakat banyak dan keberlangsungan negara-bangsa ini. Ini bertalian dengan fungsi penegakan hukum sebagai amanah. Setiap keputusan dan tindakan mereka diperuntukkan dan berakibat bagi pihak lain. Bila amanah itu dijalankan secara bertanggung jawab, tentu negara bangsa ini bisa menjadi negara yang bebas korupsi. Rakyat pun bisa mendapatkan hak-hak ekonominya. Namun, bila terbukti dikangkangi, tentu saja rasa keadilan dan hak ekonomi masyarakat banyak akan terbelenggu.

Dua ribu tahun lebih yang lampau, Aristoteles mengatakan bahwa keutamaan tidak hanya bisa diperoleh melalui pengetahuan, tapi terutama melalui habitus: kebiasaan untuk melakukan yang baik. Pembiasaan dan implementasi kedua usulan di atas barangkali bisa mendukung upaya menjunjung tinggi penegakan hukum yang jujur, bersih, dan adil. Kita semua tahu, hukum umumnya dijiwai dan memuat kualitas moral. Bila aparat konsekuen menegakkan hukum, pada saat yang sama ia menegakkan nilai-nilai etis. Inilah tanggung jawab moral aparat penegak hukum.

Terobosan Hukum dalam Pilkada




Pemilu kepala daerah (Pilkada) 2010 sudah semakin dekat. April mendatang Pekalongan menjadi daerah pertama yang akan melaksanakan, setelah itu akan segera menyusul 245 daerah lainnya. Paling tidak dalam 2010 nanti terdapat 7 provinsi, 204 kabupaten, dan 35 kota yang akan melaksanakan pesta demokrasi tersebut.

Menyikapi hal itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera melakukan persiapan khususnya terkait regulasi. KPU memiliki peran kunci dalam pelaksanaan pilkada, yang berbeda dengan pilkada sebelumnya. Pasal 9 ayat (1) UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu (UU 22/2007) memberikan tugas dan kewenangan bagi KPU untuk mempersiapkan regulasi dan kebijakan terkait pelaksanaan pilkada. Kewenangan inilah yang dalam pilkada sebelumnya tidak dimiliki KPU karena pilkada sepenuhnya menjadi tugas dan kewenangan KPU Daerah.

Kewenangan yang diberikan UU 22/2007 hendaknya segera direspons positif dan cepat oleh KPU. Mengingat regulasi dasar penyelenggaraan pilkada tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan masalah.

Regulasi pilkada dapat menyulitkan penyelenggaraan, potensi tumpang-tindih pengaturan, dan kekosongan hukum pun sangat mungkin terjadi. Misal terkait dengan pertanggungjawaban KPU provinsi/ kabupaten/kota; komposisi, jumlah, dan pengangkatan pengawas pemilu; serta beberapa ketentuan lainnya.

Bahkan, melihat perkembangan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden lalu, banyak hal baru yang tidak terjangkau dalam pengaturan tentang pilkada. Seperti penggunaan kartu pemilih, rekapitulasi tingkat PPS, dan tata cara pemberian suara.

Pertanyaannya, apakah pilkada mendatang akan tetap mengakomodasi penggunaan kartu pemilih, rekap tingkat PPS, dan mencoblos sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) atau mengikuti perkembangan tata cara pemilihan dengan tanpa kartu pemilih, tanpa rekap tingkat PPS dan penandaan dengan cara mencontreng (centang)?

Regulasi Pilkada
Dasar penyelenggaraan pilkada mengacu pada ketentuan Bab IV Bagian Kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56-119 UU 32/2004. Ketentuan UU 32/2004 itu ternyata tidak mengatur secara komprehensif.

Mekanisme penundaan pilkada akibat kondisi darurat tidak terakomodasi dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 3 Tahun 2005, kekurangan atas mekanisme penundaan pilkada akibat bencana, konflik, dan kerusuhan dapat tertutupi. Perppu itu kemudian diundangkan dalam UU 8/ 2005 tentang Pengundangan Perppu 3/2005 tentang Penundaan Pilkada karena Kondisi Khusus.

Peraturan teknis pelaksanaan pilkada sebagai turunan UU 32/2004, diatur dalam Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun, kemudian undang-undang ini mengalami perubahan hingga tiga kali, menjadi Peraturan Pemerintah No 25/2007 tentang perubahan kedua dan Peraturan Pemerintah 49/2008 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah 6/2005.

Sebagai bentuk penyempurnaan dasar hukum pilkada, lahir UU 12/2008 tentang perubahan kedua atas UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengatur khusus tentang mekanisme pilkada. Hal paling penting atas undang-undang perubahan ini adalah beralihnya kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu, dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Perkembangan selanjutnya, regulasi tentang pelaksanaan pilkada tidak hanya diatur dalam UU 32/2004 dan regulasi turunannya.

Pada 2007 lahir UU Penyelenggara Pemilu, undang-undang ini mengatur khusus tentang penyelenggara, baik tentang KPU, KPU Daerah, maupun pengawas pemilu pada semua tingkatan. UU Penyelenggara Pemilu bukan bagian (perubahan) dari UU Pemda, namun ketentuannya berlaku sebagai dasar hukum penyelenggaraan pilkada, khususnya terkait penyelenggara. Dengan demikian, terdapat dua ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggara pemilu, yaitu UU Pemda dan UU Penyelenggara Pemilu.

UU Penyelenggara Pemilu bukanlah perubahan atas UU Pemda. Namun, kedua peraturan ini memiliki substansi pengaturan yang sama, khususnya tentang penyelenggara pemilu, yaitu KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Pengawas Pemilu Provinsi dan jajaran di bawahnya. Terhadap permasalahan ini, harus dipahami bahwa dasar hukum penyelenggaraan pilkada tetap mengacu pada UU 32/2004 dan turunannya, karena ketentuan undang-undang ini belum dicabut atau diganti. Artinya, ketentuan dalam UU 32/2004 tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU 22/2007.

Dengan kata lain, ketentuan terkait pertanggungjawaban KPU Daerah dan keanggotaan panwaslu, baik tentang komposisi, jumlah anggota, pengangkatan, dan pertanggungjawaban KPU Daerah tidak lagi mengacu kepada ketentuan UU 32/2004, karena secara khusus telah diatur dalam UU 22/2007.

Keberanian KPU
Ketentuan tentang kartu pemilih, rekapitulasi suara tingkat desa (PPS), dan penandaan dengan cara mencoblos memerlukan keberanian KPU untuk melakukan terobosan hukum. Memang ketentuan itu merupakan perintah UU 32/2004 yang harus dijalankan, akan tetapi sudah tidak implementatif. Pascapemilihan legislatif dan presiden lalu, cara ini telah ditinggalkan dan muncul inovasi baru. Penyelenggara tingkat daerah dan lapangan pun telah terbiasa dengan cara-cara baru dalam pemilu.

Begitu juga dengan masyarakat, telah mengenal pemilihan dengan cara mencentang (centang). KPU harus berani mendesak DPR dan pemerintah melalui Mendagri agar tata cara pemilihan disesuaikan dengan perkembangan terkini. Desakan ini penting, agar DPR dan pemerintah segera mengagendakan perubahan UU 32/2004, karena kebijakan itu tidak cukup hanya diatur melalui peraturan KPU.

Akan tetapi, untuk melakukan perubahan UU 32/2004 bukan tanpa risiko, lambatnya pembahasan dan kesepakatan politik DPR jelas menjadi faktor utama kekhawatiran tertundanya pelaksanaan pilkada di beberapa daerah.

Atas kondisi itu, KPU sebagai pemegang kebijakan bersama DPR dan Pemerintah harus memikirkan beberapa skenario, agar pilkada lebih berkualitas. Pertama, melakukan revisi terbatas UU 32/2004 terhadap beberapa pasal terkait kartu pemilih, rekapitulasi tingkat PPS, dan ketentuan mencoblos. Jika ketiga elemen di atas dapat bersepakat, paling lambat akhir tahun ini sangat mungkin dapat terselesaikan.

Kedua, harus ada skenario adanya penundaan pilkada akibat keterlambatan revisi terbatas UU 32/2004. Jika ini terjadi, yang harus dipersiapkan adalah regulasi terkait pengisian kekosongan jabatan kepala daerah karena telah habis masa jabatan dan pejabat baru belum terpilih. Ketiga, alternatif penerbitan perppu, khususnya untuk jadwal penyelenggaraan pilkada bulan April.

Rabu, 14 April 2010

Kejahatan yang Sempurna


Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.

Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.

Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.

Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.

Sophistokrat

Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.

Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).

Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.

Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).

Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.

Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.

Konsensus kebenaran

Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).

Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.

Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.

Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.

Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antarkeluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.

Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.

Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.

Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antarinstitusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.

Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.

Kejahatan yang Sempurna

.fullpost{display:inline;} Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.


Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.

Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.

Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.

Sophistokrat

Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.

Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).

Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.

Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).

Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.

Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.

Konsensus kebenaran

Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).

Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.

Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.

Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.

Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antarkeluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.

Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.

Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.

Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antarinstitusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.

Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.

Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance


PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) didalam peraturan Pencatatan Efek No 1-A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam angka 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris independen yaitu" komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris. Selanjutnya dalam angka 2 menentukan persyaratan komisaris independen yang melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan memahami peraturan per-undang- undangan di bidang Pasar Modal.

Menurut pendapat saya, seberapa besar pengaruh kinerja komisaris independen pada dewan komisaris apabila komposisi komisaris independen 30% melawan komisaris yang tidak independen sebesar 70%. Sekalipun komisaris independen dapat melakukan dissenting, namun tujuan diadakan komisaris independen tidak hanya sekedar untuk dissenting, namun tentu diharapkan mampu menyeimbangkan pengambilan keputusan Dewan komisaris

Apabila ingin memberikan akibat yang berarti terhadap kinerja Dewan Komisaris, maka keanggotaan komisaris independen harus lebih dari jumlah sehingga dapat outvoted dalam pengambilan keputusan, hal ini apabila dihubungkan dengan adanya anggota komisaris yang tidak independen. Alternative kedua adalah memberikan posisi yang lebih menentukan atau lebih memberikan pengaruh misalnya sebagai presiden komisaris. dari dewan direksi dan dewan komisaris adalah. untuk kepentingan perusahaan, baru kemudian untuk pemegang saham, bahkan dalam likuidasi pemegang saham memperoleh bagian terakhir (Pasal 124 ayat 2 UUPT). Persoalannya ialah, pemegang saham juga merupakan investor, dan undang undang melindungi kepentingan dari investor, mengapa setelah investor menjadi pemegang saham harus ditandingi dengan komisaris independen.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terdapat kekuasaan untuk menyetujui suatu rencana kerja perseroan, tetapi apabila menurut dewan direksi dan business judgement dari dewan direksi, rencana tersebut wajib dirubah, maka dewan direksi wajib menjalankan rencananya tersebut yang menurut pertimbangannya paling baik untuk kepentingan perseroan. Dengan demikian, manakala kepentingan perseroan tidak sejalan dengan putusan RUPS, maka dewan direksi harus mengutamakan kepentingan perseroan, sebab pada akhirnya dewan direksi tidak dapat bersembunyi dibalik RUPS atau komisaris apabila ternyata keputusannya tersebut salah. Dengan kata lain, pemberian persetujuan oleh RUPS maupun komisaris tidak dapat membebaskan direksi dari tanggung jawab atas kepengurusannya.

Perlu diperhatikan bahwa keputusan rapat umum pemegang saham maupun komisaris bukanlah tindakan kepengurusan, karena instruksi tersebut tidak wajib dilaksanakan oleh direksi. Dengan demikian direksi tetap independen , terutama untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan

Hubungan Komite Audit Dengan Komisaris Independen

Bapepam menerbitkan Surat Edaran (SE-03/PM/2000) yang menghimbau agar emiten dan perusahaan publik mempunyai komite audit. Komite audit bertugas membantu komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektivitas audit dan eksternal audit. Anggota komite audit sekurang kurangnya tiga orang yang diangkat dan diberhentikan komisaris, sedang anggota komite audit dari komisaris bertindak sebagai ketua.

Kedudukan komisaris independen dan komite audit yang dimilki oleh emiten atau perusahaan publik, adalah berkaitan dengan tanggung jawab pengawasan dari dewan komisaris. Oleh sebab itu, keberadaan dari komisaris independen yang duduk dalam komite audit dan anggota komite audit, wajib untuk mentaati ketentuan tentang kegiatan dari komite audit. Sebagai komite yang membantu fungsi pengawasan komisaris, komite audit memiliki fungsi dalam hal hal yang terkait dengan proses dan peran audit bagi perusahaan, terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan perusahaan yang dipaparkan untuk publik.

Membangun komite audit yang efektif tidak boleh terlepas dari kacamata penerapan prinsip good corporate governance secara keseluruhan disuatu perusahaan dimana independency, transparency and disclosure, accountability, responsibility dan fairness menjadi landasan utama dalam menjalankan perusahaan.

Komite audit harus bersikap adil dalam pengambilan keputusan, hal ini ditujukan kepada semua pihak, terutama dalam penelaahan terhadap kesalahan asumsi maupun pelanggaran terhadap resolusi direksi.

Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan hal tersebut di atas ialah, bagaimana dengan komite audit yang ditunjuk oleh komisaris perusahaan, apakah mereka benar benar mampu dan dapat bertindak secara kompeten dan independen?

Sebagai contoh Aburizal Bakrie dari Bakrie Group dan Mochtar Riady dari Lippo Group, akibat dari restrukturisasi dengan pola debt to equity swap, mengakibatkan kreditur menjadi pemegang saham mayoritas dari perusahaan yang bersangkutan, sedangkan founder menjadi minoritas. Dengan proporsi ini maka struktur perusahaan lama yang merupakan representasi dari pendiri lama, beberapa menjadi komisaris independen. Secara definisi legal per se, sah sah saja, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, namun kita harus melihat persepsi publik. Berdasarkan Peraturan BEJ 1-A, sebetulnya mereka telah memenuhi persyaratan, namun persepsi publik wajib dipertimbangkan agar kepentingan publik tetap terjaga. Sehingga redefinisi komisaris independen harus dilakukan.

Selain itu dengan kecenderungan meningkatnya/meluasnya kewenangan komisaris independen, apalagi dengan membawahi komite audit, serta kewenangan dewan komisaris untuk dapat membentuk tim konsultan sendiri, apakah hal tersebut tidak menjadikan tanggung jawab seorang komisaris independen jadi lebih besar dari anggota komisaris lainnya. Apa saja sanksi yang dapat diberikan terhadap komisaris independen bila gagal memenuhi ketentuan. Herannya lagi bukankah keputusan dewan komisaris harus dilihat sebagai kesatuan dan tanggung jawabnya juga harus secara kolektif? Pengujian terakhir mengenai posisi komisaris independen adalah ditangan hakim, tetapi patut dipertanyakan sejauhmana para hakim memahami konsep komisaris independen, dan apa yang dipakai sebagai rujukan untuk bahan pertimbangan, UUPT, KUHPerdata, atau Keputusan Bursa Efek Jakarta?

berpikirlah secara pasti dan hadipilah masalah

Masalah-masalah kita adalah buatan manusia, maka dari itu, dapat diatasi oleh manusia. Tidak ada masalah dalam takdir manusia yang tidak terjangkau oleh manusia.

Our problems are man-made, therefore they may be solved by man. No problem of human destiny is beyond human beings.