Kamis, 15 April 2010

Tanggung Jawab Moral Penegak Hukum


Hari-hari ini perhatian kita barangkali cukup tersedot oleh pemberitaan mengenai percakapan telepon antara sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung dan Artalyta Suryani, terdakwa kasus penyuapan terhadap oknum jaksa UTG. Seperti diketahui, rekaman percakapan itu diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Korupsi. Rencana penangkapan itu diduga menjadi bagian dari skenario menyelamatkan penyuap. Para pejabat tinggi kejaksaan yang terlibat membantah dugaan tersebut. Mereka beralibi percakapan itu justru menjadi skenario mereka menjerat dan menangkap Artalyta. Tujuannya, menjaga keseimbangan antara penerima dan pemberi suap. Tapi dalih ini akhirnya termentahkan oleh hasil pemeriksaan tim internal kejaksaan yang menilai pejabat yang terlibat percakapan telah melanggar disiplin pegawai negeri sipil.


Kasus terungkapnya percakapan tidak etis itu semakin mengukuhkan tindakan korupsi yang terjadi secara sistemik, meluas, dan lepas kendali di republik ini. Praktek kriminal itu telah menjadi endemik, berurat berakar, dan sulit dihilangkan. Benar kata Susan Rose-Ackerman, mahaguru bidang hukum dan ilmu politik dari Universitas Yale, bahwa, "di Jakarta (baca: Indonesia), korupsi sudah menjadi hal yang biasa." Ini terjadi karena ketidakberesan dan praktek jual-beli perkara oleh sejumlah oknum aparat penegak hukum.

Penilaian ini bukan isapan jempol. Ukurannya jelas, tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi sangat rendah sehingga kita masih berkutat dan betah nongkrong di posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia. Sebenarnya pembentukan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi secara tak langsung juga membahasakan kondisi ketidakberesan aparat penegak hukum kita. Logikanya, kalau aparat penegak hukum yang ada memiliki kinerja yang bermutu dan bertanggung jawab, tentu saja KPK tidak dibutuhkan.

Pertanyaannya, mengapa tingkat ketidakberesan itu begitu mengental? Mengapa mafia peradilan begitu kuat? Persoalan utamanya terletak pada sisi mutu personalitas aparat penegak hukum. Artinya, praktek korupsi itu merupakan representasi dari integritas, reputasi, dan kualitas pribadi mereka. Praktek korupsi memang memiliki relevansi etis. Tindakan tersebut tidak etis (immoral) atau buruk dari sudut pandang moral, karena pelaku menyalahgunakan posisi dan pengaruhnya membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Sementara pada pihak lain mengakibatkan bencana dan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan logika seperti ini kita bisa mengatakan bahwa integritas, reputasi, dan mutu moral koruptor sangat rendah. Padahal sisi moralitas merupakan ciri khas manusiawi yang membuat manusia merasa berhak mengklaim memiliki harkat dan martabat luhur.

Lalu, apakah aparat penegak hukum begitu bodoh memahami prinsip moral seperti itu? Jawabannya sederhana: mereka tahu korupsi itu tidak benar secara moral, tapi mereka tidak peduli. Ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan dan kemauan untuk memberikan refleksi terhadap setiap tindakan mereka. Orientasi materialistis, hedonistis, dan budaya instan barangkali telah mencengkeram sumsum tulang-belulang gaya hidup penegak hukum kita. Ini mengarahkan mereka mengikuti dan mencoba mengambil apa saja yang diinginkannya apabila kesempatan untuk melakukannya ada. Bahkan kesempatan tersebut justru mereka ciptakan dengan memanipulasi aturan hukum. Tindakan diambil semata-mata berdasar kepuasan, kesenangan, dan keterpenuhan hasrat individual yang egoistis.

Dalam alur analisis tersebut, usaha pemberantasan korupsi harus dimulai dari pembenahan mentalitas aparat penegak hukum, karena mereka merupakan ujung tombak dan tulang punggung upaya menciptakan negara yang bebas korupsi. Pertama, selama ini praktek yang barangkali jamak dilakukan adalah memindahtugaskan atau menurunkan pangkat oknum aparat yang terbukti melanggar kode etik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Perlu ada terobosan khusus yang baru untuk aparat penegak hukum. Oknum yang terbukti melanggar kode etik, baik yang ringan maupun yang berat, jangan diberi tugas dan jabatan struktural apa pun. Kalau perlu, dipensiun-dinikan. Terobosan ini diharapkan bisa menciptakan aparat yang berintegritas dan bertanggung jawab. Mata rantai mafia peradilan pun bisa dipotong karena oknum bersangkutan tidak lagi memiliki otoritas, wewenang, kesempatan, dan pengaruh tertentu, terutama untuk melakukan jual-beli perkara.

Kedua, perlu ada pemberdayaan kesadaran yang bersifat sugestif dan berorientasi pada orang lain. Artinya, setiap aparat penegak hukum perlu melakukan proyeksi terhadap akibat dari setiap tindakan dan keputusan mereka bagi masyarakat banyak dan keberlangsungan negara-bangsa ini. Ini bertalian dengan fungsi penegakan hukum sebagai amanah. Setiap keputusan dan tindakan mereka diperuntukkan dan berakibat bagi pihak lain. Bila amanah itu dijalankan secara bertanggung jawab, tentu negara bangsa ini bisa menjadi negara yang bebas korupsi. Rakyat pun bisa mendapatkan hak-hak ekonominya. Namun, bila terbukti dikangkangi, tentu saja rasa keadilan dan hak ekonomi masyarakat banyak akan terbelenggu.

Dua ribu tahun lebih yang lampau, Aristoteles mengatakan bahwa keutamaan tidak hanya bisa diperoleh melalui pengetahuan, tapi terutama melalui habitus: kebiasaan untuk melakukan yang baik. Pembiasaan dan implementasi kedua usulan di atas barangkali bisa mendukung upaya menjunjung tinggi penegakan hukum yang jujur, bersih, dan adil. Kita semua tahu, hukum umumnya dijiwai dan memuat kualitas moral. Bila aparat konsekuen menegakkan hukum, pada saat yang sama ia menegakkan nilai-nilai etis. Inilah tanggung jawab moral aparat penegak hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar