Rabu, 14 April 2010

Kejahatan yang Sempurna


Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.

Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.

Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.

Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.

Sophistokrat

Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.

Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).

Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.

Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).

Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.

Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.

Konsensus kebenaran

Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).

Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.

Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.

Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.

Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antarkeluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.

Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.

Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.

Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antarinstitusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.

Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.

Kejahatan yang Sempurna

.fullpost{display:inline;} Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.


Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.

Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.

Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.

Sophistokrat

Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.

Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).

Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.

Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).

Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.

Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.

Konsensus kebenaran

Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).

Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.

Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.

Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.

Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antarkeluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.

Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.

Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.

Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antarinstitusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.

Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.

Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance


PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) didalam peraturan Pencatatan Efek No 1-A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam angka 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris independen yaitu" komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris. Selanjutnya dalam angka 2 menentukan persyaratan komisaris independen yang melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan memahami peraturan per-undang- undangan di bidang Pasar Modal.

Menurut pendapat saya, seberapa besar pengaruh kinerja komisaris independen pada dewan komisaris apabila komposisi komisaris independen 30% melawan komisaris yang tidak independen sebesar 70%. Sekalipun komisaris independen dapat melakukan dissenting, namun tujuan diadakan komisaris independen tidak hanya sekedar untuk dissenting, namun tentu diharapkan mampu menyeimbangkan pengambilan keputusan Dewan komisaris

Apabila ingin memberikan akibat yang berarti terhadap kinerja Dewan Komisaris, maka keanggotaan komisaris independen harus lebih dari jumlah sehingga dapat outvoted dalam pengambilan keputusan, hal ini apabila dihubungkan dengan adanya anggota komisaris yang tidak independen. Alternative kedua adalah memberikan posisi yang lebih menentukan atau lebih memberikan pengaruh misalnya sebagai presiden komisaris. dari dewan direksi dan dewan komisaris adalah. untuk kepentingan perusahaan, baru kemudian untuk pemegang saham, bahkan dalam likuidasi pemegang saham memperoleh bagian terakhir (Pasal 124 ayat 2 UUPT). Persoalannya ialah, pemegang saham juga merupakan investor, dan undang undang melindungi kepentingan dari investor, mengapa setelah investor menjadi pemegang saham harus ditandingi dengan komisaris independen.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terdapat kekuasaan untuk menyetujui suatu rencana kerja perseroan, tetapi apabila menurut dewan direksi dan business judgement dari dewan direksi, rencana tersebut wajib dirubah, maka dewan direksi wajib menjalankan rencananya tersebut yang menurut pertimbangannya paling baik untuk kepentingan perseroan. Dengan demikian, manakala kepentingan perseroan tidak sejalan dengan putusan RUPS, maka dewan direksi harus mengutamakan kepentingan perseroan, sebab pada akhirnya dewan direksi tidak dapat bersembunyi dibalik RUPS atau komisaris apabila ternyata keputusannya tersebut salah. Dengan kata lain, pemberian persetujuan oleh RUPS maupun komisaris tidak dapat membebaskan direksi dari tanggung jawab atas kepengurusannya.

Perlu diperhatikan bahwa keputusan rapat umum pemegang saham maupun komisaris bukanlah tindakan kepengurusan, karena instruksi tersebut tidak wajib dilaksanakan oleh direksi. Dengan demikian direksi tetap independen , terutama untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan

Hubungan Komite Audit Dengan Komisaris Independen

Bapepam menerbitkan Surat Edaran (SE-03/PM/2000) yang menghimbau agar emiten dan perusahaan publik mempunyai komite audit. Komite audit bertugas membantu komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektivitas audit dan eksternal audit. Anggota komite audit sekurang kurangnya tiga orang yang diangkat dan diberhentikan komisaris, sedang anggota komite audit dari komisaris bertindak sebagai ketua.

Kedudukan komisaris independen dan komite audit yang dimilki oleh emiten atau perusahaan publik, adalah berkaitan dengan tanggung jawab pengawasan dari dewan komisaris. Oleh sebab itu, keberadaan dari komisaris independen yang duduk dalam komite audit dan anggota komite audit, wajib untuk mentaati ketentuan tentang kegiatan dari komite audit. Sebagai komite yang membantu fungsi pengawasan komisaris, komite audit memiliki fungsi dalam hal hal yang terkait dengan proses dan peran audit bagi perusahaan, terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan perusahaan yang dipaparkan untuk publik.

Membangun komite audit yang efektif tidak boleh terlepas dari kacamata penerapan prinsip good corporate governance secara keseluruhan disuatu perusahaan dimana independency, transparency and disclosure, accountability, responsibility dan fairness menjadi landasan utama dalam menjalankan perusahaan.

Komite audit harus bersikap adil dalam pengambilan keputusan, hal ini ditujukan kepada semua pihak, terutama dalam penelaahan terhadap kesalahan asumsi maupun pelanggaran terhadap resolusi direksi.

Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan hal tersebut di atas ialah, bagaimana dengan komite audit yang ditunjuk oleh komisaris perusahaan, apakah mereka benar benar mampu dan dapat bertindak secara kompeten dan independen?

Sebagai contoh Aburizal Bakrie dari Bakrie Group dan Mochtar Riady dari Lippo Group, akibat dari restrukturisasi dengan pola debt to equity swap, mengakibatkan kreditur menjadi pemegang saham mayoritas dari perusahaan yang bersangkutan, sedangkan founder menjadi minoritas. Dengan proporsi ini maka struktur perusahaan lama yang merupakan representasi dari pendiri lama, beberapa menjadi komisaris independen. Secara definisi legal per se, sah sah saja, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, namun kita harus melihat persepsi publik. Berdasarkan Peraturan BEJ 1-A, sebetulnya mereka telah memenuhi persyaratan, namun persepsi publik wajib dipertimbangkan agar kepentingan publik tetap terjaga. Sehingga redefinisi komisaris independen harus dilakukan.

Selain itu dengan kecenderungan meningkatnya/meluasnya kewenangan komisaris independen, apalagi dengan membawahi komite audit, serta kewenangan dewan komisaris untuk dapat membentuk tim konsultan sendiri, apakah hal tersebut tidak menjadikan tanggung jawab seorang komisaris independen jadi lebih besar dari anggota komisaris lainnya. Apa saja sanksi yang dapat diberikan terhadap komisaris independen bila gagal memenuhi ketentuan. Herannya lagi bukankah keputusan dewan komisaris harus dilihat sebagai kesatuan dan tanggung jawabnya juga harus secara kolektif? Pengujian terakhir mengenai posisi komisaris independen adalah ditangan hakim, tetapi patut dipertanyakan sejauhmana para hakim memahami konsep komisaris independen, dan apa yang dipakai sebagai rujukan untuk bahan pertimbangan, UUPT, KUHPerdata, atau Keputusan Bursa Efek Jakarta?

berpikirlah secara pasti dan hadipilah masalah

Masalah-masalah kita adalah buatan manusia, maka dari itu, dapat diatasi oleh manusia. Tidak ada masalah dalam takdir manusia yang tidak terjangkau oleh manusia.

Our problems are man-made, therefore they may be solved by man. No problem of human destiny is beyond human beings.